Selasa, 17 Agustus 2021

TEORI PERMINTAAN TENAGA KERJA DALAM JANGKA PANJANG


Yuhka Sundaya

Artikel ini ditulis ketika Saya memelajari makroekonomi Tahun 2004. Semoga bermanfaat.

Berbeda dengan jangka pendek, sifat permintaan input dalam jangka panjang adalah semua input bersifat variabel atau dapat berubah-ubah. Gambar 2 mengilustrasikan hubungan antara investasi dengan tenaga kerja.

Gambar 4. Determinan Permintaan Tenaga Kerja Dalam Jangka Panjang

Gambar 2 terdiri dari tiga bagian, [2.a] menunjukkan keseimbangan pelaku usaha dalam jangka panjang, [2.b] menunjukkan pergeseran (movement) dan pergerakan (shiftment) kurva permintaan investasi dan [2.c] menunjukkan pergeseran (movement) dan pergerakan (shiftment) kurva permintaan tenaga kerja. Terdapat tiga hubungan antar input yang memungkinkan, yaitu hubungan saling melengkapi (complementer), hubungan saling menggantikan (substitution) dan hubungan saling bebas (independen). Dalam teori ini diasumsikan antara investasi (I) dengan tenaga kerja (TK) berhubungan saling melengkapi.

Keseimbangan awal pelaku usaha ditunjukkan oleh titik A dalam ketiga bagian gambar 2. Dalam gambar [2.a] pelaku usaha akan mencapai tingkat produksi yang optimal ketika kurva isoquant bersingggungan dengan kurva anggaran (budget line), dimana pada mulanya ia mengkombinasikan tenaga kerja dan investasi masing-masing sebesar TK1 dan I1. Ketika terjadi kenaikan suku bunga sebagai akibat dari upaya BI untuk memperkuat rupiah misalnya, maka kebijakan moneter ini dapat meningkatkan suku bunga dari r1 ke r2 (r2>r1). Dengan asumsi di pasar tenaga kerja tidak ada reaksi untuk meningkatkan upah, maka dalam gambar [2.a] perubahan suku bunga ini menyebabkan pergeseran intercept investasi yang menunjukkan seandainya seluruh biaya total faktor dialokasikan untuk investasi. Budget line bergeser dari TFC/w1 – TFC/r1 ke TFC/w1 – TFC/r2, dan hasil akhirnya keinginan investasi pelaku usaha menurun. Karena investasi dan tenaga kerja berhubungan saling melengkapi, maka penurunan investasi akan diikuti oleh penurunan penggunaan tenaga kerja, sehingga setelah terjadi kenaikan suku bunga penggunaan investasi dan tenaga kerja masing-masing menjadi sebesar I2 dan TK2 (gambar  [2.a]), dimana keseimbangan pelaku usaha berubah dari posisi A ke posisi B.

Dalam gambar [2.b] pengaruh kenaikan suku bunga ini ditunjukkan oleh kenaikan “r” dalam garis vertikal dari r1 ke r2 yang menyebabkan pengurangan permintaan investasi dari I1 ke I2. Dan dalam gambar [2.c], karena tenaga kerja penggunaannya saling melengkapi dengan investasi, maka walaupun tanpa terjadi perubahan tingkat upah, maka penggunaan tenaga kerja menurun dari TK1 ke TK2. Dengan demikian kenaikan suku bunga menyebabkan kurva permintaan tenaga kerja bergerak menurun dari DTK1 ke DTK2.

Kenyataannya, serikat pekerja dengan kekuatan politiknya senantiasa mampu memengaruhi pelaku usaha untuk menaikan tingkat upah. Misalnya setelah terjadi kenaikan suku bunga tadi, tingkat upah meningkat dari w1 ke w2. Kenaikan tingkat upah akan mengeser intercept tenaga kerja ke bawah, sehingga kurva budget line menjadi TFC/w2 – TFCr2. Hasil akhirnya adalah adanya penyesuaian atas keseimbangan pelaku usaha. Keseimbangan pelaku usaha menjadi berada pada posisi C. Dengan tetap mempertahankan asumsi hubungan komplementer antara tenaga kerja dan investasi, maka penurunan penggunaan tenaga kerja dari TK2 ke TK3 menyebabkan turunnya penggunaan investasi dari I2 ke I3 walaupun tidak ada perubahan dalam suku bunga.

Pada gambar [d.c] kenaikan tingkat upah menyebabkan bergesernya permintaan tenaga kerja dari posisi B ke posisi C dengan jumlah penggunaanya menurun dari TK2 ke Tk3. Dan pada gambar [2.b] karena tidak ada perubahan suku bunga (suku bunga tetap pada r2), maka kenaikan tingkat upah menggerakan permintaan investasi dari DI1 ke DI2 yang mana jumlah investasi yang digunakan menurun dari I2 menjadi I3.

TEORI PERMINTAAN TENAGA KERJA DALAM JANGKA PENDEK


Artikel ini Saya tulis ketika memelajari teori makroekonomi tahun 2004.

Permintaan tenaga kerja dalam jangka pendek dapat diamati perilakukan melalui teori fungsi produksi.Fungsi produksi menggambarkan hubungan teknis antara input dan output dari suatu proses produksi. Sebuah fungsi produksi dapat diartikan sebagai maksimum output yang dapat diperoleh dari suatu vektor input tertentu (Coelli et al, 1998; 12). Terdapat tiga tahap produksi, yaitu :
1. Tahap kenaikan rata-rata produksi (average product – AP);
2. Tahap penurunan AP dengan produk marginal (marginal product – MP) yang positif; dan
3. Negatif MP.

Tahap-tahap produksi dalam jangka pendek dapat diidentifikasi dalam gambar 1. Untuk penyederhanaan digambarkan bahwa produksi fisik total (total physical product - TPP) ditentukan oleh dua input, yaitu input 1 (x1) dan input 2 (x2). MPPx1 atau marginal physical product of x1 adalah jumlah tambahan output (TPP) yang diproduksi dengan tambahan unit x1, ceteris paribus x2 (x20). APPx1 atau average physical product of x1 menunjukkan jumlah output per unit x1 atau rata-rata produksi per unit x1.

Tahap produksi I dan III menggambarkan perilaku produsen yang irrasional, sedangkan tahap produksi II menggambarkan perilaku produsen yang rasional. Pada tahap produksi I, jika produksi berhenti pada saat MPPx1 maksimum, menunjukkan bahwa penggunaan input tersebut belum optimal atau masih ada input x1 yang menganggur. Karakteristik permintaan x1 dapat ditunjukkan oleh kurva MPPx1. Pada tahap ini kurva permintaan input x1 berhubungan positif dengan harga input tersebut. Artinya, pada tahap ini walaupun harga input meningkat, maka produsen akan terus menambah penggunaan x1.  Kurva permintaan x1 tidak elastis terhadap harga input tersebut. Biasanya perilaku ini terjadi pada infant industry atau industri yang baru berdiri. Selanjutnya, karakteristik lain dalam tahap ini adalah bahwa produsen memiliki elastisitas produksi (Ep) lebih besar dari 1. Hal ini disebabkan oleh lebih besarnya MMPx1 dari APPx1.

Elastisitas produksi atau output terhadap input dapat diturunkan dari fungsi produksi. Dari fungsi produksi yang digambarkan dalam gambar 1, secara umum elastisitas produksi terhadap input ke-i adalah :


Gambar 3. TPP, APP, MPP dan Tahap-Tahap Produksi
Gambar 3. TPP, APP, MPP dan Tahap-Tahap Produksi

EP,xi dapat diartikan sebagai respon output terhadap perubahan input ke-i. Dengan perkataan lain (EP,xi) merupakan rasio persentase perubahan output dibagi dengan persentase perubahan input ke-i, yang selanjutnya dalam pendekatan neo-klasik dapat diinterpretasikan sebagai rasio antara marginal produk input ke-i dengan rata-rata produksi input ke-i. Pada tahap produksi I, respon output terhadap input sangat elastis. Dimana perubahan output lebih besar dibandingkan dengan perubahan input dalam proses produksi tersebut.

            Dalam jangka panjang, semua input (x1 dan x2) memiliki peluang untuk berubah secara bersamaan. Perubahan proporsional dalam output sebagai akibat dari perubahan proporsional seluruh input dikenal dengan konsep return to scale (RTS) atau disebut juga dengan elasticity of scale (Coelli, 1998; 19). Terdapat tiga jenis RTS, yaitu increasing return to scale (IRS), constant return to scale (CRS) dan decreasing return to scale (DRS). Informasi return to scale dari suatu proses produksi dapat diketahui dengan cara menjumlahkan elastisitas produksi terhadap setiap atau seluruh input yang digunakan (). Jika  > 1, maka dapat diartikan bahwa fungsi produksi tersebut bersifat increasing return to scale (IRS), jika  = 1, maka dapat diartikan bahwa fungsi produksi tersebut bersifat constant return to scale (CRS), sedangkan jika jika  = 1, maka dapat diartikan bahwa fungsi produksi tersebut bersifat diminishing return to scale (DRS). Sifat IRS dalam fungsi produksi mencerminkan bahwa kenaikan/penurunan penggunaan seluruh input secara proporsional akan meningkatkan/menurunkan output secara proporsional dengan persentase kenaikan/penurunan yang lebih besar dari kenaikan/penurunan input. Sifat CRS mencerminkan bahwa kenaikan/penurunan penggunaan input secara proporsional  akan meningkatkan/menurunkan output secara proporsional dengan persentase kenaikan/penurunan yang sama besarnya dengan kenaikan/penurunan input. Sedangkan sifat DRS dalam fungsi produksi mencerminkan bahwa kenaikan/penurunan penggunaan input secara proporsioonal akan meningkatkan/menurunkan output secara proporsional dengan persentase kenaikan/penurunan yang lebih kecil dari kenaikan/penurunan input. 

Pada tahap produksi II, terlihat bahwa pertumbuhan TPP yang terkait dengan kenaikan input x1 mulai melambat. Tahap ini dimulai pada saat MPPx1 sama dengan APPx1 maksimum dan berakhir pada saat MPPx1 mencapai titik nol atau tambahan input x1 tidak memberikan tambahan terhadap output. Pada tahap ini, tambahan setiap input x1 oleh produsen akan memberikan tambahan terhadap output yang semakin menurun, sehingga kurva MPPx1 dan APPx1 pada tahap ini memiliki kemiringan yang negatif. Oleh karena itu pada tahap ini berlaku hukum hasil fisik marginal yang semakin berkurang (the law of diminishing marginal returns). Pada tahap ini pula, perilaku produsen dikategorikan rasional. Hal ini tercermin pula pada kurva permintaan input x1 yang diwakili oleh MPPx1. Kemiringan negatif MPPx1 menunjukkan bahwa permintaan input x1 berhubungan negatif dengan harga input tersebut. Permintaan produsen terhadap input x1 menjadi elastis dibandingkan dengan tahap produksi I. Selanjutnya pada tahap ini menunjukkan bahwa respon produksi terhadap persentase perubahan input x1 kurang elastis. Dengan perkataan lain, persentase perubahan output lebih rendah dibandingkan dengan persentase perubahan input x1. Hal ini disebabkan oleh lebih rendahnya tambahan output sebagai akibat tambahan input x1 dibandingkan dengan rata-rata produksi x1 (MPPx1 < APPx1).

Pada tahap produksi III, terlihat bahwa output mulai menurun. Tambahan input x1, tidak akan memberikan tambahan terhadap output dalam tahap produksi ini. Malahan tambahan input tesebut dapat menyebabkan penurunan terhadap output, jika produsen tidak menambah input x2. Kasus ini tercemin pula oleh negatifnya MPPx1, yang mencerminkan bahwa tambahan input akan menyebabkan penurunan terhadap output. Akibatnya respon produksi terhadap input menjadi tidak elastis.

Berdasarkan teori produksi di atas, parameter elastisitas produksi terhadap input memberikan informasi tentang bagaimana respon output terhadap input tersebut. Respon output terhadap tenaga kerja misalnya, memberikan informasi besarnya perubahan output atas perubahan penggunaan tenaga kerja. Kenyataanya tenaga kerja memiliki spesifikasi pendidikan dan keahlian tertentu, jika parameter ini diperluas untuk spesifikasi tenaga kerja tersebut, maka parameter tersebut menginformasikan spesifikasi tenaga kerja seperti apa yang mampu menunjang kenaikan produksi suatu perusahaan. 

Menurut Mankiw (2003; 46-47), keputusan suatu perusahaan untuk meningkatkan dan mengurangi tenaga kerja tergantung pada perbandingan value marginal productivity of labor dengan upah nominalnya. Jika fungsi keuntungaan perusahaan adalah :



maka, tingkat perubahan keuntungan sebagai akibat dari perubahan tenaga kerja didefinisikan sebagai berikut :


“P” adalah harga output, “fL” adalah marginal productivity of labor dan “w” adalah upah. Dengan demikian persamaan tersebut dapat didefinisikan kembali sebagai   berikut :


Berdasarkan persamaan tersebut, jika MPL > w/P atau upah riil, maka perusahaan dapat memutuskan untuk meningkatkan penggunaan tenaga kerja, karena tambahan output masih lebih besar dari tambahan biaya tenaga kerjanya. Sebaliknya jika MPL < w/P atau upah riil, maka perusahaan akan mengurangi penggunaan tenaga kerja, karena tambahan output menjadi lebih kecil dibandingkan dengan tambahan biaya tenaga kerjanya. Dengan demikian perusahaan tidak akan menambah maupun mengurangi tenaga kerja jika tambahan produktivitas akibat penambahan tenaga kerja sama dengan tingkat upah riilnya (MPL = w/P). Dengan kata lain perusahaan akan mengurangi maupun menambah tenaga kerja ketika tambahan outputnya sama dengan tambahan biayanya.

Referensi

Mankiw, Gregory N, 2003,”Teori Makroekonomi”, Jakarta, Erlangga, Ed-5, alih bahasa oleh Nurmawan Iman.

PENGANGGURAN DALAM MAKROEKONOMI

PENGANGGURAN DALAM MAKROEKONOMI

Artikel ini ditulis ketika memelajari makroekonomi Tahun 2004

I. Ringkasan

Bab 6 (enam) buku Teori Makroekonomi yang ditulis oleh Mankiw (2003; 150-172) membahas tentang pengangguran. Yang dibahas dalam bab tersebut adalah mengapa selalu ada pengangguran dan apa yang yang menentukan tingkat pengangguran, khususnya adalah determinan dari tingkat pengangguran alamiah (natural rate of unemployment).

Pada dasarnya pengangguran adalah jumlah angkatan kerja dalam suatu perekonomian yang tidak memiliki pekerjaan. Determinasi atau faktor-faktor penentu tingkat pengangguran dikembangkan dengan model tingkat pengangguran alamiah. Formulasinya ditulis sebagai berikut :

U/L = s/(s+f)

Model tersebut menunjukkan bahwa tingkat pengangguran kondisi-mapan (U/L) bergantung pada tingkat pemutusan kerja (s) dan tingkat perolehan kerja (f). Semakin tinggi tingkat pemutusan kerja, semakin tinggi tingkat pengangguran. Semakin tinggi tingkat perolehan kerja, semakin rendah tingkat pengangguran.

Model tingkat pengangguran alamiah menerapkan asumsi bahwa angkatan kerja bersifat tetap dan memfokuskan pada perubahan individu dalam angkatan kerja di antara bekerja dan menganggur. Implikasi dari model ini menyatakan bahwa semua kebijakan yang bertujuan menurunkan tingkat pengangguran alamiah akan menurunkan tingkat pemutusan kerja atau meningkatkan tingkat perolehan pekerjaan. Demikian pula, semua kebijakan yang mempengaruhi tingkat pemutusan kerja atau perolehan pekerjaan akan mengubah tingkat pengangguran alamiah.

Penenulis selanjutnya mengemukakan dua jenis pengangguran, yaitu (a) pengangguran friksional (fricitional-unemployment), dan (b) pengangguran struktural (structural-unemployment).

Pertama, pengangguran friksional adalah jumlah angkatan kerja yang belum mendapatkan pekerjaan, karena dibutuhkannya waktu untuk mencocokan antara pekerja dengan pekerjaan. Maksud kecocokan itu antara lain adalah kesesuaian antara kemampuan calon pekerja dengan karakteristik pekerjaan, ketidaksempurnaan arus informasi antara calon karyawan dengan informasi lowongan kerja, serta lokasi antara tempat kerja dengan tempat tinggal angkatan kerja.

Pergeseran struktual (structural shift) merupakan fenomena ekonomi yang menyebabkan terjadinya pengangguran friksional. Perubahan-perubahan dalam permintaan barang akhir dari suatu perusahaan menderivasi permintaan tenaga kerja. Jika permintaan barang “x” di perusahaan “A” menurun, maka perusahaan tersebut dapat mengurangi pemakaian tenaga kerja sebagai salah satu input produksinya.

Jenis pengangguran yang kedua adalah pengangguran struktural (sructural unemployment), yaitu . pengangguran yang disebabkan oleh kekakuan upah dan penjatahan pekerjaan. Ada dua faktor penentu kekakuan dalam tingkat upah , antara lain adalah (a) kebijakan upah minimum dan (b) kekuatan monopoli serikat pekerja. Jika pemerintah mengeluarkan kebijakan upah minimum diatas tingkat upah keseimbangan, maka akan mengakibatkan penurunan permintaan tenaga kerja dan sebagai turunannya adalah meningkatnya pemutusan kerja. Namun demikian hasil studi David Card, Lawrence Kartz, dan Alan Krueger memberikan kesimpulan bahwa dalam struktur pasar kerja monopsoni kenaikan upah menyebabkan kenaikan permintaan tenaga kerja. Begitupun halnya dengan teori upah-efisiensi (efficiency-wage) yang menyatakan bahwa tingkat upah yang tinggi menyebabkan kenaikan produktivitas, perputaran kerja serta meningkatkan motivasi kerja dan akhirnya meningkatkan produktivitas. Di perusahaan Ford Motor Company, teori ini terbukti menurunkan biaya tenaga kerja yang besar. Ketidakhadiran pekerja turun sampai 75 %, menyatakan kenaikan yang sanat besar dalam upaya pekerja.

Penyebab kekakuan upah yang kedua adalah kekuatan monopoli serikat pekerja. Kuatnya posisi tawar pekerja yang tergabung dalam serikat pekerja dapat meningkatkan tingkat upah. Jika struktur biaya perusahaan menjadi kendala berat untuk membayar pekerja, maka perusahaan tersebut akan mengurangi pemakaian tenaga kerjanya. Dampaknya sama dengan penentuan upah minimum.

II. Ulasan

Penulis hanya membahas secara tunggal tentang pengangguran. Pendekatan penulis di dalam mendeterminasi tingkat pengangguran alamiah lebih simpel dibandingkan penulis lainnya. Namun teori yang dikembangkan tidak secara eksplisit menghubungkan dengan output nasional. Dengan memahami model tingkat pengangguran alamiah, dapatlah diidentifikasi bahwa perubahan dalan tingkat pengangguran disebabkan oleh perubahan dalam perolehan kerja dan pemutusan kerja. Kenaikan dalam angkatan kerja yang mendapat perolehan kerja dapat menurunkan tingkat pengangguran, sebaliknya kenaikan dalam tingkat pemutusan kerja menyebabkan kenaikan dalam tingkat pengangguran.

Blanchard (1997; 307-311) mengemukakan teori yang berbeda dengan Mankiw. Dengan terlebih dahulu mendeterminasi tingkat upah dan harga, Blanchard mengemukakan bahwa tingkat pengangguran berkaitan dengan keputusan penetapan harga sebuah perusahaan. Sedangkan Dornbusch (1987; 499) mengemukakan pendekatan untuk tingkat pengangguran alamiah yang sama dengan Mankiw, dimana ia mendekatinya dari arus masuk dan keluar tenaga kerja dengan asumsi jumlah angkatan kerja tetap. Namun Dornbusch menyimpulkan bahwa tingkat pengangguran alamiah merupakan rata-rata tertimbang dari tingkat pengangguran alamiah antar sub-kelompok dalam angkatan kerja.

Namun demikian di balik asumsi semua model tingkat pengangguran alamiah tersebut, pertumbuhan penduduk adalah fenomena yang tidak dapat dielakan, sehingga mengakibatkan kenaikan dalam jumlah angkatan kerja beberapa tahun kedepan. Dalam teori pengangguran ini, penulis tidak membahas dampak dari penurunan jumlah penduduk dan angkatan kerja. Padahal jumlah pekerja yang pensiun, migrasi penduduk dan mortalitas merupakan kenyataan yang dapat menurunkan jumlah penduduk dan angkatan kerja. Mortalitas mungkin sulit untuk diukurnya, namun jumlah pekerja pensiunan dan migrasi dapat diukur secara statistik.

Kebijakan upah minimun dan keberadaan serikat pekerja mempengaruhi permintaan tenaga kerja, dan program asuransi dan tunjangan pengangguran merupakan program untuk mengatasi masalah pengangguran friksional. Signifikansi dari kebijakan dan program tersebut terhadap penurunan angka pengangguran berbeda-beda di setiap negara. Oleh karena itu pemahaman terhadap karakteristik pekerja merupakan bagian penting didalam merumuskan kebijakan dan program pengentasan pengangguran.

KEYNESIAN CROSS (Kurva Perpotongan Keynes) DAN IS-LM

KEYNESIAN CROSS (Kurva Perpotongan Keynes) DAN IS-LM

Yuhka Sundaya
Artikel ini bersumber dari hasil pembelajaran makroekonomi Saya Tahun 2004.

Pengeluaran Pemerintah dan Pendapatan Nasional

Pendapatan nasional (Y) menurut penggunaan merupakan penjumlahan atas pengeluaran untuk konsumsi (C), investasi (I), belanja pemerintah atau government expenditure (G) dan ekspor-impor.(X – M). Dalam perekonomian tertutup (closed economy) didefinisikan dengan persamaan identitas berikut :
Y = C + I + G
 
Selanjutnya I dan G diasumsikan exogeneous (ditentukan), sehingga dapat ditulis sebagai berikut :
Y = C + Ῑ + Ḡ

Sementara itu, konsumsi ditentukan oleh pendapatan siap pakai (disposable income). Hubungannya secara matematis ditulis sebagai berikut :
C = a + b (Y – T)
“a” adalah konstanta yang memiliki arti besarnya konsumsi yang tidak ditentukan oleh pendapatan, atau dalam istilah kebijakan disebut dengan kebutuhan hidup minimum (KHM). Sedangkan “b” adalah marginal propensity to consume (MPC) atau tambahan dalam konsumsi sebagai akibat perubahan dalam pendapatan. Secara matematis “b” merupakan slope atau kemiringan dari fungsi konsumsi. Notasinya adalah positif, karena konsumsi berhubungan positif dengan pendapatan. Kenaikan dalam pendapatan akan diikuti oleh kenaikan dalam konsumsi, begitupun sebaliknya.

Selanjutnya, dengan menginternalisaikan fungsi konsumsi ke dalam pendapatan nasional, maka diperoleh hubungan matematis sebagai berikut :


Dari persamaan ini nampak bahwa seluruh variabel memiliki koefisien 1/MPS termasuk konstanta. Dengan demikian dari persamaan tersebut dapat diukur tingkat perubahan Y (dY) sebagai akibat perubahan G (dG). Dimana



Artinya tingkat perubahan Y sebesar 1/MPS, karena MPC + MPS = 1, sehingga 1- MPC = MPS.

Dampak dari perubahan G itu sendiri ditunjukkan oleh :

Ilustrasi dampak perubahan G dapat dipahami dengan menggunakan perpotongan Keynesian yang ditunjukkan pada Gambar 1.

Pada Gambar 1, sebelum ada pengeluaran pemerintah pendapatan nasional berada pada Y, tepat pada saat rencana pengeluaran (PE) sama dengan pengeluaran aktual (AE) yang ditunjukkan pada titi A.

Pengeluaran pemerintah adalah exogeneous, sehingga dampak dari adanya pengeluaran pemerintah menyebabkan pertambahan dalam konstanta dari (a + I) menjadi (a + I + G), sehingga kurva PE bergeser ke atas menjadi PE’. Dalam gambar dampak ini menyebabkan munculnya perpotongan Keynesian yang baru pada titik B yang lebih tinggi dibandingkan pada perpotongan di titik A, sehingga dampak dari pengeluaran pemerintah menyebabkan kenaikan pendapatan nasional dari Y ke Y’. Dengan demikian pengeluaran pemerintah memiliki dampak positif terhadap pendapatan nasional.

Dampak kontraksi moneter terhadap keseimbangan pasar uang (LM) dan pasar barang (IS)

Kontraksi moneter adalah salah satu kebijakan bank sentral untuk mengurangi jumlah uang beredar (JUB) atau mengurangi penawaran uang (money supply). Kontraksi moneter dilakukan dengan operasi pasar terbuka, dimana bank sentral melakukan pembelian obligasi. Di Indonesia, Bank Indonesia melakukannya dengan membeli Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Transaksi ini menyebabkan terserapnya (absorption) uang beredar, karena pembelian menyebabkan bertambahnya persediaan uang di bank sentral di satu pihak, dan menurunkan masyarakat untuk memegang uang cash pada pihak lain. Transaksi ini menyebabkan pergeseran keseimbangan dalam pasar uang dan pasar barang, sehingga dapat merubah tingkat suku bunga dan pendapatan nasional.

Gambar 2 menampilkan ilustrasi dampak kontraksi moneter terhadap keseimbangan pasar uang dan pasar barang.


Kurva LM (liquidity of money) menggambarkan keseimbangan suku bunga (r) dan pendatan nasional (Y) pada saat terjadi keseimbangan di pasar uang, sedangkan kurva IS (investment-Saving) menggambarkan keseimbangan suku bunga dan pendapatan nasional pada saat terjadi keseimbangan di pasar barang. Dikatakan pasar barang, karena merupakan agregasi dari belanja konsumsi rumah tangga, belanja investasi perusahaan, belanja pemerintah dan belanja impor.

Sebelum terjadi kontraksi moneter, keseimbangan pasar barang dan pasar uang ditunjukkan pada titik A, dimana pendapatan nasional sebesar Y dan suku bunga sebesar r. Kontraksi moneter dengan melakukan pembelian SBI oleh Bank Indonesia menyebabkan penurunan dalam penawaran uang riil (Ms/P), dengan asumsi harga bersifat konstan. Kontraksi penawaran uang riil ini akan menggeser kurva LM ke kiri atas. Sehingga kebijakan ini menyebabkan :

1. Kenaikan suku bunga dari r ke r’; dan
2. Penurunan pendapatan nasional dari Y ke Y’.

Penurunan pendapatan nasional dapat dipahami, bahwa ketika Bank Indonesia melakukan pembelian SBI, maka cadangan uang yang ada di bank-bank umum, lembaga keuangan lain, dan masyarakat yang membeli SBI akan berkurang. Menurunnya cadangan/persediaan uang (dana-red) menyebabkan kenaikan suku bunga. Kenaikan suku bunga akan direspon secara negatif oleh investor. Investor akan mengurangi investasinya, sehingga menyebabkan penyesuaian dalam pasar barang. Kurva IS akan bergeser sepanjang kurva ke kiri atas hingga berpotongan dengan kurva LM’ di titik B. Dengan demikian, penurunan investasi di pasar barang menyebabkan penurunan output atau pendapatan nasional (Y).

Selasa, 10 Agustus 2021

PREMI RESIKO (COUNTRY RISK), KESEIMBANGAN PASAR BARANG DAN PASAR UANG

 PREMI RESIKO (COUNTRY RISK), KESEIMBANGAN PASAR BARANG DAN PASAR UANG

Yuhka Sundaya

Artikel ini ditulis ketika saya memelajari mikroekonomi pada Tahun 2004. Sumbernya adalah :
Mankiw, Gregory N, 2003,”Teori Makroekonomi”, Jakarta, Erlangga, Ed-5, alih bahasa oleh Nurmawan Iman.

Premi resiko atau country risk adalah peristiwa-peristiwa non ekonomi dan ekonomi yang terjadi di suatu perekonomian. Sifat dari premi resiko dapat menyebabkan kenaikan dalam resiko investasi di perekonomian tersebut. Misalnya bencana alam, Tsunami dua minggu yang lalu di Banda Aceh, bom Bali, bom JW. Mariot, bom Kuningan, kerusuhan di Ambon, kemelut sosial dan politik dan lain-lain.

Premi resiko (q) dapat menyebabkan perubahan dalam keseimbangan pasar barang (IS) dan pasar uang (LM). Dampak premi resiko dapat diukur dengan menggunakan persamaan pendapatan nasional (Y) dalam model perekonomian terbuka dengan penawaran dan permintaan uang. Dalam perekonomian terbuka adanya premi resiko pada suatu saat tertentu dapat diilustrasikan sebagai berikut :

Y      = C (Y – T) + I(r* + q) + G + NX(e)    ... a

M/P  = L(r* + q, Y) ......................................... b

Persamaan (a) menunjukkan bahwa pendapatan nasional merupakan penjumlahan atas komponen-komponen pengeluaran, yaitu belanja konsumsi (C), investasi (I), belanja pemerintan (G) dan net export (NX). Di mana konsumsi merupakan fungsi dari pendapatan disposable (Y – T) atau Yd, dan investasi merupakan fungsi dari suku bunga dunia (r*) ditambah dengan adanya premi resiko. Suku bunga dunia (r*) merupakan patokan bagi para investor dan masyarakat pemegang uang di suatu perekonomian. Sehingga identitas suku bunga domestik adalah r=r*+q. Jika suku bunga domestik lebih besar dari suku bunga dunia, maka perekonomian domestik akan menerima penawaran pinjaman dari perkonomian lain (capital inflow), sebaliknya jika suku bunga domestik lebih kecil dari suku bunga dunia, maka perekonomian domestik dapat meminjam dan dananya ke perekonomian lain (capital outflow). Selanjutnya belanja pemerintah merupakan ketetapan dari pemerintah (exogenous), sedangkan net export merupakan fungsi dari kurs riil (e). Kenaikan dalam kurs riil atau apresiasi mata uang domestik terhadap mata uang asing menyebabkan turunnya daya saing, karena apresiasi menyebabkan harga komoditi-komoditi ekspor menjadi lebih mahal. Kenaikan harga ekspor akan menurunkan permintaan ekspornya di negara mitra dagangnya. Sehingga menyebabkan nilai net export perekonomian tersebut menurun.

Gambar 1 digunakan untuk menganalisis dampak premi resiko terhadap keseimbangan pasar uang dan pasar barang.

Keterangan :

q ®  r = r*1+q ® I' ® IS ' (IS1 ke IS2) ® depresiasi mata uang domestik (e1 ke e2) ® menggeser keseimbangan IS-LM dari titik A ke titik B di gambar (ii).
Md' dari titi A ke titik B di pasar uang (i)® Excess supply of money ® Ms&® di gambar (ii) LM& (LM1 ke LM2) ® Y& (Y1 ke Y2) ® di gambar (i) Md& kembali dari L(r*1, Y1) ke L(r*1+q, Y2) ® keseimbangan pasar uang baru di titik C.

Di pasar uang dan barang (keseimbangan eksternal), premi resiko menyebabkan kekhawatiran investor di perekonomian domestik, sehingga suku bunga dunia lebih menarik. Hal ini secara langsung akan menurunkan investasi atau terjadi capital outflow, sehingga di dalam keseimbangan eksternal pasar barang turun ke sebelah kiri bawah (IS1 ke IS2).

Di pasar uang (gambar ii), premi resiko menyebabkan permintaan uang menurun, sehingga mengakibatkan excess supply of money. Agar pasar uang kembali seimbang,  maka bank sentral akan melakukan ekspansi moneter, misalnya dengan membeli obligasi dari masyarakat maupun bank-bank umum.  Ekspansi moneter menyebabkan kenaikan jumlah uang beredar. Di pasar uang ekspansi moneter dapat menutup excess supply of money, sehingga keseimbangan pasar uang yang baru berada di titik C. Sementara itu di pasar uang dan barang (gambar ii), kombinasi ekspansi moneter dengan kontraksi di pasar barang menyebabkan kenaikan pendapatan dan depresiasi mata uang domestik lebih lanjut (dari e2 ke e3).

Depresiasi mata uang domestik pada sisi lain akan meningkatkan daya saing, karena depresiasi dapat mendorong penurunan harga ekspor, sehingga permintaan ekspor dimungkinkan untuk meningkat dengan asumsi permintaan ekspornya elastis. Pada sisi lain, depresiasi dapat mendorong kenaikan harga impor. Jika permintaan impor elastis di domestik, maka impor domestik akan turun. Dalam perdagangan internasional hasilnya adalah kenaikan net export. Sehingga kenaikan pendapatan dari Y1 ke Y2 sebenarnya didorong oleh kenaikan net export, yang ditunjukkan dengan bergesernya keseimbangan internal sepanjang kurva IS. Dimana keseimbangan bergerak dari titik B ke titik C (gambar ii).

Menurut Mankiw (2003; 321), biasanya kenaikan pendapatan yang didorong oleh adanya premi resiko tidak terjadi. Ada beberapa alasan, antara lain :

  1. Bank sentral mencegah depresiasi yang besar pada mata uang domestik yang ditanggapi dengan kontraksi moneter. Menurut penulis, tindakan ini dapat terjadi jika permintaan ekspor di pasar dunia tidak elastis atau ketergantungan perekonomian terhadap komoditi impor sangat tinggi (asumsi dampak depresiasi meningkatkan permintaan ekspor ditolak).
  2. Premi resiko menyebabkan permintaan uang masyarakat meningkat, karena uang merupakan aset yang paling aman.

Label:

EKSPANSI FISKAL DAN KONTRAKSI MONETER DALAM PERMINTAAN AGGREGAT

EKSPANSI FISKAL DAN KONTRAKSI MONETER DALAM PERMINTAAN AGGREGAT

Artikel ini ditulis ketika saya memelajari mikroekonomi pada Tahun 2004. Sumbernya adalah :
Mankiw, Gregory N, 2003,”Teori Makroekonomi”, Jakarta, Erlangga, Ed-5, alih bahasa oleh Nurmawan Iman.

Ekspansi fiskal dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu :

1.      Penurunan penerimaan pajak (tax); dan

2.      Kenaikan belanja pemerintah (government expenditure).

Penurunan pajak berpengaruh secara langsung terhadap konsumsi yang pada gilirannya berdampak pada perubahan pendapatan nasional, sedangkan perubahan dalam belanja pemerintah akan berpengaruh secara langsung terhadap pendapatan nasional. Dalam closed economy identitas pendapatan nasional ditulis sebagai berikut :


Y     = C + I + G
C     = a + b (Y-T)
I      = I (r)
G    = Given

Sehingga identitas pendapatan nasional menjadi,

Y = a + b (Y-T) + I(r) + G

Sedangkan kontraksi moneter dapat terjadi bila :

1.      Bank Indonesia menjual obligasi atau Sertifikat Bank Indonesia (SBI); dan

2.      Terjadi kenaikan harga ketika tidak ada perubahan dalam penawaran uang.

Penjualan obligasi atau SBI secara langsung menyebabkan penurunan jumlah uang beredar (JUB)di masyarakat.

Dampak ekspansi fiskal dan kontraksi moneter terhadap keseimbangan pasar uang dan pasar barang yang dicirikan dengan koordinasi antara suku bunga dan pendapatan nasional tergantung pada proporsi atau besarnya ekspansi fiskal dan kontraksi moneter tersebut.

Jika ekspansi fiskal sama dengan kontraksi moneter yang didorong oleh penurunan jumlah uang beredar (Ms) dengan asumsi tingkat harga tidak berubah

Ekspansi fiskal dengan meningkatkan belanja pemerintah akan menyebabkan kenaikan planned expenditure (PE). Kenaikan PE tersebut selanjutnya meningkatkan pendapatan nasional (Y). Hal ini menyebabkan kurva Investment-Saving (IS) atau pasar barang bergeser ke kanan atas. Jika ekspansi fiskal dilakukan dengan cara menurunkan penerimaan pajak, maka secara langsung akan meningkatkan pendapatan disposable (siap pakai). Dimana kenaikan dalam pendapatan disposable akan mendorong kenaikan konsumsi. Dalam pasar barang, kenaikan konsumsi akan menggeser kurva IS ke kanan atas yang selanjutnya akan meningkatkan pendapatan nasional. Kenaikan kurva IS sebagai akibat dari ekspansi moneter menyebabkan kenaikan suku bunga yang diikuti dengan kenaikan pendapatan nasional.


Sementara itu kontraksi moneter menyebabkan penawaran uang riil menurun, sehingga menyebabkan kurva liquidity of money (LM) atau pasar uang bergeser ke kiri atas. Penurunan dalam pasar uang menyebabkan kenaikan suku bunga yang selanjutnya menurunkan investasi. Dampak penurunan investasi tersebut secara langsung akan menurunkan pendapatan nasional (Y). Sehingga kontraksi moneter menyebabkan kenaikan suku bunga yang diikuti dengan penurunan dalam pendapatan nasional.

Penurunan pendapatan nasional akibat kontraksi moneter dapat dikompensasi atau dikoreksi oleh kenaikan pendapatan nasional akibat ekspansi fiskal. Oleh karena itu pendapatan nasional tidak mengalami perubahan. Karena harga tidak mengalami perubahan, maka ekspansi fiskal dan kontraksi moneter tidak akan mengubah keseimbangan permintaan agregat (aggregate demand – AD). 

Jika ekspansi fiskal lebih besar dari kontraksi moneter yang didorong oleh penurunan jumlah uang beredar (Ms) dengan asumsi tingkat harga tidak berubah



Ekspansi fiskal dengan meningkatkan belanja pemerintah akan menyebabkan kenaikan planned expenditure (PE). Kenaikan PE tersebut selanjutnya meningkatkan pendapatan nasional (Y). Hal ini menyebabkan kurva Investment-Saving (IS) atau pasar barang bergeser ke kanan atas. Jika ekspansi fiskal dilakukan dengan cara menurunkan penerimaan pajak, maka secara langsung akan meningkatkan pendapatan disposable (siap pakai). Dimana kenaikan dalam pendapatan disposable akan mendorong kenaikan konsumsi. Dalam pasar barang, kenaikan konsumsi akan menggeser kurva IS ke kanan atas yang selanjutnya akan meningkatkan pendapatan nasional. Kenaikan kurva IS sebagai akibat dari ekspansi moneter menyebabkan kenaikan suku bunga yang diikuti dengan kenaikan pendapatan nasional.

Sementara itu kontraksi moneter menyebabkan penawaran uang riil menurun, sehingga menyebabkan kurva liquidity of money (LM) atau pasar uang bergeser ke kiri atas. Penurunan dalam pasar uang menyebabkan kenaikan suku bunga yang selanjutnya menurunkan investasi. Dampak penurunan investasi tersebut secara langsung akan menurunkan pendapatan nasional (Y). Sehingga kontraksi moneter menyebabkan kenaikan suku bunga yang diikuti dengan penurunan dalam pendapatan nasional.

Penurunan pendapatan nasional akibat kontraksi moneter yang lebih kecil daripada kenaikan pendapatan nasional yang didorong oleh ekspansi fiskal menyebabkan kenaikan dalam pendapatan nasional (Y). Pada saat harga tetap, maka kenaikan pendapatan nasional akan menggeser kurva permintaan agregat (aggregate demand-AD) ke kanan atas (dari AD1 ke AD2).

Jika ekspansi fiskal lebih kecil dari kontraksi moneter yang didorong oleh penurunan jumlah uang beredar (Ms) dengan asumsi tingkat harga tidak berubah


 


Ekspansi fiskal dengan meningkatkan belanja pemerintah akan menyebabkan kenaikan planned expenditure (PE). Kenaikan PE tersebut selanjutnya meningkatkan pendapatan nasional (Y). Hal ini menyebabkan kurva Investment-Saving (IS) atau pasar barang bergeser ke kanan atas. Jika ekspansi fiskal dilakukan dengan cara menurunkan penerimaan pajak, maka secara langsung akan meningkatkan pendapatan disposable (siap pakai). Dimana kenaikan dalam pendapatan disposable akan mendorong kenaikan konsumsi. Dalam pasar barang, kenaikan konsumsi akan menggeser kurva IS ke kanan atas yang selanjutnya akan meningkatkan pendapatan nasional. Kenaikan kurva IS sebagai akibat dari ekspansi moneter menyebabkan kenaikan suku bunga yang diikuti dengan kenaikan pendapatan nasional.

Sementara itu kontraksi moneter menyebabkan penawaran uang riil menurun, sehingga menyebabkan kurva liquidity of money (LM) atau pasar uang bergeser ke kiri atas. Penurunan dalam pasar uang menyebabkan kenaikan suku bunga yang selanjutnya menurunkan investasi. Dampak penurunan investasi tersebut secara langsung akan menurunkan pendapatan nasional (Y). Sehingga kontraksi moneter menyebabkan kenaikan suku bunga yang diikuti dengan penurunan dalam pendapatan nasional.

Penurunan pendapatan nasional akibat kontraksi moneter yang lebih besar daripada kenaikan pendapatan nasional yang didorong oleh ekspansi fiskal menyebabkan penurunan dalam pendapatan nasional (Y). Pada saat harga tetap, maka penurunan pendapatan nasional akan menggeser kurva permintaan agregat ke kiri bawah (dari AD1 ke AD2).

Jika ekspansi fiskal sama dengan kontraksi moneter yang didorong oleh penurunan harga dengan asumsi penawaran uang tidak berubah

 


Ekspansi fiskal dengan meningkatkan belanja pemerintah akan menyebabkan kenaikan planned expenditure (PE). Kenaikan PE tersebut selanjutnya meningkatkan pendapatan nasional (Y). Hal ini menyebabkan kurva Investment-Saving (IS) atau pasar barang bergeser ke kanan atas. Jika ekspansi fiskal dilakukan dengan cara menurunkan penerimaan pajak, maka secara langsung akan meningkatkan pendapatan disposable (siap pakai). Dimana kenaikan dalam pendapatan disposable akan mendorong kenaikan konsumsi. Dalam pasar barang, kenaikan konsumsi akan menggeser kurva IS ke kanan atas yang selanjutnya akan meningkatkan pendapatan nasional. Kenaikan kurva IS sebagai akibat dari ekspansi moneter menyebabkan kenaikan suku bunga yang diikuti dengan kenaikan pendapatan nasional.

Sementara itu kontraksi moneter yang di dorong oleh kenaikan dalam harga dengan asumsi tidak ada perubahan dalam penawaran uang (Ms) akan menyebabkan pergeseran kurva LM ke kiri atas. Pergeseran ini menyebabkan kenaikan suku bunga yang akan direspon oleh penurunan investasi yang selanjutnya menurunkan pendapatan nasional.

Penurunan pendapatan nasional akibat kontraksi moneter dapat dikompensasi atau dikoreksi oleh kenaikan pendapatan nasional akibat ekspansi fiskal. Oleh karena itu pendapatan nasional tidak mengalami perubahan. Namun demikian, karena kontraksi moneter tersebut disebabkan oleh kenaikan harga, maka kurva permintaan agregat (AD) akan bergeser ke kanan atas (dari AD1 ke AD2).

Jika ekspansi fiskal lebih besar dari kontraksi moneter yang didorong oleh penurunan harga dengan asumsi penawaran uang tidak berubah

Ekspansi fiskal dengan meningkatkan belanja pemerintah akan menyebabkan kenaikan planned expenditure (PE). Kenaikan PE tersebut selanjutnya meningkatkan pendapatan nasional (Y). Hal ini menyebabkan kurva Investment-Saving (IS) atau pasar barang bergeser ke kanan atas. Jika ekspansi fiskal dilakukan dengan cara menurunkan penerimaan pajak, maka secara langsung akan meningkatkan pendapatan disposable (siap pakai). Dimana kenaikan dalam pendapatan disposable akan mendorong kenaikan konsumsi. Dalam pasar barang, kenaikan konsumsi akan menggeser kurva IS ke kanan atas yang selanjutnya akan meningkatkan pendapatan nasional. Kenaikan kurva IS sebagai akibat dari ekspansi moneter menyebabkan kenaikan suku bunga yang diikuti dengan kenaikan pendapatan nasional.


 

Sementara itu kontraksi moneter yang di dorong oleh kenaikan dalam harga dengan asumsi tidak ada perubahan dalam penawaran uang, akan menyebabkan pergeseran kurva LM ke kiri atas. Pergeseran ini menyebabkan kenaikan suku bunga yang akan direspon oleh penurunan investasi yang selanjutnya menurunkan pendapatan nasional.

Penurunan pendapatan nasional akibat kontraksi moneter lebih kecil daripada kenaikan pendapatan nasional sebagai akibat dari ekspansi fiskal menyebabkan  kenaikan dalam pendapatan nasional. Dengan demikian kenaikan harga yang disertai dengan kenaikan dalam pendapatan menyebabkan pergeseran kurva permintaan agregat ke kanan atas (dari AD1 ke AD2).

Jika ekspansi fiskal lebih kecil dari kontraksi moneter yang didorong oleh penurunan harga dengan asumsi penawaran uang tidak berubah

Ekspansi fiskal dengan meningkatkan belanja pemerintah akan menyebabkan kenaikan planned expenditure (PE). Kenaikan PE tersebut selanjutnya meningkatkan pendapatan nasional (Y). Hal ini menyebabkan kurva Investment-Saving (IS) atau pasar barang bergeser ke kanan atas. Jika ekspansi fiskal dilakukan dengan cara menurunkan penerimaan pajak, maka secara langsung akan meningkatkan pendapatan disposable (siap pakai). Dimana kenaikan dalam pendapatan disposable akan mendorong kenaikan konsumsi. Dalam pasar barang, kenaikan konsumsi akan menggeser kurva IS ke kanan atas yang selanjutnya akan meningkatkan pendapatan nasional. Kenaikan kurva IS sebagai akibat dari ekspansi moneter menyebabkan kenaikan suku bunga yang diikuti dengan kenaikan pendapatan nasional.



Sementara itu kontraksi moneter yang di dorong oleh kenaikan dalam harga dengan asumsi tidak ada perubahan dalam penawaran uang, akan menyebabkan pergeseran kurva LM ke kiri atas. Pergeseran ini menyebabkan kenaikan suku bunga yang akan direspon oleh penurunan investasi yang selanjutnya menurunkan pendapatan nasional.

Penurunan pendapatan nasional akibat kontraksi moneter lebih besar daripada kenaikan pendapatan nasional sebagai akibat dari ekspansi fiskal menyebabkan penurunan dalam pendapatan nasional. Dengan demikian kurva permintaan agregat (AD) dapat berada pada titik B, C ataupun D tergantung pada penurunan dalam pendapatan nasional dan proporsi kenaikan harga.

Label:

Teori Perusahaan

TEORI PERUSAHAAN

Artikel ini ditulis ketika saya memelajari mikroekonomi pada Tahun 2004. Sumbernya adalah :
Henderson, J. M., & Quandt, R. E. (1958). Microeconomic Theory : a Mathematical Approach. (S. E. Harris, Ed.) New York: McGraw-Hill.

Berikut link untuk contoh pembelajaran mikroekonomi dengan menggunakan software Microsoft Mathematics :

Sebuah perusahaan adalah unit teknis dimana suatu komoditi diproduksi. Pengusahanya (pemilik dan manajer) memutuskan berapa banyak dan bagaimana komoditinya akan diproduksi, serta memperoleh keuntungan atau menanggung keruginan dari keputusannya. Seorang pengusaha melakukan transformasi input menjadi output, dengan syarat ikatannya adalah aturan teknik yang dikhususkan atau dispesifikasi oleh fungsi produksinya. Perbedaan antara penerimaan dari penjualan outputnya dengan biaya inputnya merupakan keuntungan atau kerugian yang ia peroleh.

Fungsi produksi pengusaha memberikan ekspresi matematik mengenai hubungan antara jumlah input yang dia gunakan dengan jumlah output yang dia produksi. Konsepnya sangat umum. Fungsi produksi tertentu mungkin menampilkan titik tunggal, fungsi tunggal kontinyu atau diskontinyu ataupun menampilkan sebuah sistem ersamaan. Bab ini dibatasi untuk fungsi produksi dengan fungsi tunggal kontinyu, dan dengan turunan parsial turunan pertama dan keduanya bersifat kontinyu. Awal analisisnya dibangun untuk kasus yang sederhana dimana dua input dikombinasikan untuk menghasilkan output tunggal, dan kemudian diperluas untuk kasus yang lebih umum.

Input adalah barang dan jasa yang memiliki kontribusi terhadap produksi sebuah output. Seorang pengusaha biasanya akan menggunakan beragam input untuk memproduksi sebuah output. Beberapa inputnya merupakan output bagi perusahaan lain. Sebagai contoh, baja adalah input untuk produsen kendaraan dan barang itu adalah output perusahaan baja. Input lainnya-semacam tenaga kerja, lahan dan sumber daya mineral bukan input hasil produksi. Untuk periode waktu tertentu, input diklasifikasikan masing-masing sebagai input tetap dan variabel. Input tetap diperlukan untuk produksi, tapi jumlahnya tidak berubah seiring dengan perubahan jumlah output yang diproduksi. Biaya produksi yang dikeluarkan oleh pengusaha kurang memperhatikan maksimisasi keputusan jangka pendek. Jumlah input variabel yang dibutuhkan, pada pihak lain, tergantung pada jumlah output yang diproduksi. Perbedaan antara input tetap dan variabel adalah temporal. Input yang bersifat tetap untuk suatu periode waktu akan bersifat variabel untuk jangka panjang.

Analisis formal mengenai perusahaan serupa dengan analisis konsumen dalam beberapa hal. Konsumen membeli komoditi yang menghasilkan kepuasan, sedangkan pengusaha membeli input yang menghasilkan komoditi. Konsumen memiliki fungsi kegunaan, sedangkan perusahaan memiliki fungsi produksi. Persamaan anggaran konsumen merupakan fungsi linear dari jumlah komoditi yang dibelinya, sedangkan persamaan biaya perusahaan yang kompetitif merupakan fungsi linear dari jumlah input yang dibelinya.

Perbedaannya, fungsi kegunaan bersifat subyektif, dan kegunaan tidak memiliki pengukuran kardinal yang ambigu, sedangkan fungsi produksi adalah tujuan, dan output perusahaan dapat diukur dengan mudah. Sebuah perusahaan memungkinkan untuk menghasilkan produk lebih dari satu. Proses maksimisasi pengusaha diarahkan pada konsumennya. Konsumen rasional memaksimisasi kegunaan untuk pendapatan tertentu. Tindakan yang analog untuk pengusaha adalah memaksimisasi jumlah outputnya untuk tingkat biaya tertentu, akan tetapi seringkali ia mempertimbangkan biaya variabelnya. Dia mungkin harus meminimisasi biaya untuk memproduksi tingkat output tertentu, atau memakmsimisasi keuntungan yang dia capai dari produksi dan penjualan sebuah komoditi.

Masalah seorang pengusaha yang menggunakan dua input untuk memproduksi output tunggal didiskusikan dalam tiga bagian pertama bab ini. Bagian pertama mencaku sifat fungsi produksi dan penurunan kurva produktivitas dan isoquant, bagian kedua mencakup alternatif pola perilaku optimisasi. Pada Bagian 4-4, fungsi biaya diturunkan dari hubungan produksi. Masalah seorang pengusaha yang menggunakan satu input untuk memproduksi dua output diuraikan pada Bagian 4-5, dan analisisnya digeneralisasi pada Bagian 4-6.

4-1   KONSEP DASAR

Fungsi Produksi

Pertimbangkan sebuah proses produksi yang sederhana dimana seorang epngusaha menggunakan dua variabel input (X1, dan X2) dan satu atau lebih input tetap untuk memproduksi sebuah output tunggal (Q). Fungsi produksinya menyatakan bahwa jumlah outputnya (q) sebagai fungsi dari jumlah input variabelnya (x1, dan x2) :

q = f(x1, x2)                                                                                                                                      4-1

dimana persamaan 4-1 diasumsikan fungsinya kontinyu dimana turunan parsial pertama dan keduanya eksis. Fungsi produksi hanya diartikan untuk nilai non  negatif dari tingkat input dan output. Nilai negatif tak memiliki arti (meaningless) dalam konteks ini. Daerah asal (domain) fungsi produksi tidak mencakup semua kuadran non negatif, dan berbeda untuk setiap kasus. Fungsi produksi diasumsikan meningkat (increasing), contohnya bila f1 > 0, dalam daerah asalnya. Dengan perkataan lain diasumsikan merupakan fungsi yang sangat seolah cekung (strictly quai-concave) ketika output dimaksimisasi atau biaya diminimisasi, dan fungsinya cekung ketika keuntungan dimaksimisasi.

Perusahaan dapat menggunakan beragam kombinasi input X1 dan X2 untuk memproduksi tingkat output tertentu. Kenyataannya, ketika persamaan 4-1 kontinyu, beberapa kombinasi yang memungkinkan sifatnya infinite atau tak hingga. Teknologi pengusaha adalah semua informasi mengenai kombinasi input yang diperlukan untuk menghasilkan outputnya. Teknologi tersebut mencakup semua kemungkinan fisik. Teknologi yang dinyatakan dalam kombinasi tunggal dari X1 dan X2 dapat digunakan dalam beragam cara dan karenanya dapat menghasilka beragam tingkat output. Pemilihan kombinasi input terbaik untuk produksi tingkat ouput tertentu tergantung pada input dan harga output dan subyek analisis ekonomi.

Tingkat input dan output adalah tingkat arus per unit waktu. Periode waktu untuk arus ini, dan karenanya fungsi produksi jangka pendek didefinisikan sebagai syarat ikatan dari tiga restriksi umum : (1) harus pendek sedemikian hingga pengusaha tidak dapat mengubah tingkat input tetapnya, (2) harus pendek sedemikian hingga keadaan fungsi produksinya tidak berubah hingga ada pengembangan teknologi, dan (3) harus panjang untuk melengkapi proses teknis yang diperlukan. Pemilihan periode waktu tertentuu dalam batas tertentu sifatnya arbitrer atau daat dipertukarkan. Analisis dapat digeser ke arah jangka panjang melalui relaksasi kondisi (1) dan mendefinisikan fungsi produksi untuk jangka panjang untuk membuka variasi input tetap. Perbedaan utama antara analisis jangka pendek dan jangka panjang dalam jumlah input variabel. Seluruh hasil jangka pendek akan mengubah bentuk jangka panjang.


Maksimisasi Keuntungan

Kondisi 4-20 menyatakan bahwa keuntungan harus menurun seiring dengan penambahan input X1 atau X2. Ketika p > 0, kondisi 4-20 memerlukan bahwa MP kedua input harus menurun. Jika MP salah satu input meningkat, maka sebuah pergerakan kecil dari titik dimana kondisi turunan pertama terpenuhi akan menghasilkan kenaikan dalam nilai MPnya. Bila harga inputnya konstan, maka pengusaha dapat meningkatkan keuntungannya dengan meningkatkan jumlah penggunaan input tersebut.

Kondisi 4-20 dan 4-21 menunjukkan bahwa fungsi produksi berbentuk stricltly concave di seputar/sekeliling dimana kondisi turunan pertamanya terpenuhi dengan x1, x2 ³ 0. Solusinya dibatasi untuk wilayah strictly concave dari fungsi produksi dengan tingkat input dan output yang non negatif. Bila fungsi produksi tidak memiliki wilayah, maka solusi maksimisasi keuntungan persaingan, dari tipe yang digambarkan disini, tidak akan tercapai. Jika fungsi produksi strictly concave, maka titik dimana kondisi turunan pertamanya terpenuhi adalah solusi maksimisasi keuntungan yang unik.

4-3. Permintaan Input

Permintaan input produsen diturunkan dari permintaan komoditi yang mereka produksi. Fungsi permintaan inputnya dicapai dengan memecahkan kondisi turunan pertama (4-19) untuk x1 dan x2 sebagai fungsi dari r1 dan r2 dan p. Ini adalah definisi untuk wilayah strictly concave dari fungsi produksinya dimana kondisi turunan keduanya terpenuhi. Fungsi permintaan input produsen analog dengan fungsi permintaan fungsi permintaan ordiner dalam beberapa pertimbangan. Dari persamaan 4-19 terlihat bahwa fungsi permintaan input sifatnya homogen derajat satu dalam tiga harga.[1] Elastisitas permintaan setiap input dapat ditentukan dalam merespon harga kedua input tersebut. Kurva permintaan input untuk X1 diperoleh dengan menggambar fungsi permintaan input sebagai fungsi dari r1 sendiri dengan asumsi bahwa r2 dan p merupakan parameter tertentu.



[1] Kendala biaya produsen adalah C – r1x1 – r2x2 = 0, kalikan oleh faktor proporsionalitas, k, sehingga
kC – kr1x1 – kr2x2 = 0
Ekspresi maksimisasi keuntungan menjadi
L = f(x1, x2) + m(kC – kr1x1 – kr2x2)
Derivatif parsial dalam merespon x1, x2 dan m adalah
L/x1 = f1 - mkr1 = 0; L/x2 = f2 - mkr2 = 0; L/¶m = kC – kr1x1 – kr2x2 = 0
Multiplier Lagrange dapat ditulis dengan k(C – r1x1 – r2x2) = 0
Bila k ¹ 0, maka C – r1x1 – r2x2 = 0
Dari kondisi turunan pertama berikutnya dapat diketahui bahwa
f1/f2 = r1/r2
Kondisi tersebut membuktikan bahwa fungsi permintaan input bersifat homogen derajat satu dalam harga dan biaya. Bila semua harga input dan biaya meningkat dengan proporsi yang sama, maka jumlah input yang diminta oleh produsen tidak akan mengalami perubahan. 


Pecahkan persamaan ini untuk x1 dan x2, maka fungsi permintaannya adalah:

dimana g = 1- a - b. Permintaan untuk setiap input akan menurun seiring dengan kenaikan dala r1 dan r2, dan akan meningkat seiring dengan kenaikan p.

Seiring dengan perubahan harga, produsen akan mengubah tingkat inputnya untuk memenuhi kondisi turunan pertama (4-19). Diferensiasikan persamaan 4-19 secara total dan atur termnya,

pf11 dx1 + pf12 dx2 + f1 dp = dr1, atau pf11 dx1 + pf12 dx2 = - f1 dp + dr1                                                    

pf21 dx1 + pf22 dx2 + f2 dp = dr2, atau pf21 dx1 + pf22 dx2 = - f2 dp + dr2                                               4-23      

Dalam ekspresi matrik,

Determinannya adalah pD = p(f11f22 – f122) > 0, melalui asumsi strict concavity.

Pecahkan persamaan 4-23 untuk dx1 dan dx2 melalui aturan Cramer,

Bagaimana dampak perubahan harga input x1 dan x2 ? Untuk menjelaskan dampak perubahan r1 terhadap permintaan input x1 dapat dilakukan dengan cara membagi persamaan 4-24a dengan dr1, dengan asumsi dr2 = dp = 0. Hasilnya adalah

x1/r1 = f22/pD < 0                                                                                                                       4-25a

Persamaan 4-25 menjelaskan arah perubahan permintaan input x1 dalam merespon perubahan harganya. Efeknya adalah negatif. Ini terjadi karena asumsi bahwa p > 0 dan f22 < 0 (syarat maksimisasi dari turunan kedua fungsi produksi), dan karena determinannya positif, D > 0, maka tandanya tidak ambigu lagi bahwa x1/r1 < 0, negatif.

Untuk menjelaskan dampak perubahan r2 terhadap permintaan input x1, dapat dilakukan dengan cara membagi persamaan 4-24a dengan dr2, dengan asumsi dr1 = dp = 0. Hasilnya adalah

x1/r2 = -f12/pD                                                                                                                             4-25b

Derivatif ini akan memiliki tanda terbalik dengan turunan parsial silang f12. Dalam banyak kasus yang dipertimbangkan oleh para ahli ekonomi, menyatakan bahwa suatu kenaikan jumlah suatu input akan meningkatkan MP input lainnya; yang ditunjukkan oleh f12 > 0. Karena itu, suatu kenaikan pada harga suatu input biasanya akan mengurangi penggunaan input lainnya.

Selanjutnya, untuk menjelaskan perubahan harga output terhadap permintaan input x1, dapat dilakukan dengan membagi persamaan 4-24a oleh dp, dengan asumsi dr1 = dr2 = 0.

Secara normal, suatu kenaikan pada harga input akan menyebabkan kenaikan permintaan input, dan derivatif ini adalah positif. Bila f12 < 0, maka f2f12 secara absolut akan lebih besar dari f1f22.


Label: